6 Jan 2012

Terlalu Memikirkan Kerumitan Interaksi Organisme Pengganggu, Lupa Kerumitan Interaksi Manusia

Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Indonesia telah berkembang melalui tiga tahapan, yaitu berturut-turut PHT Ambang Ekonomi, PHT Sekolah Lapang, dan PHT Masyarakat. Ketiga tahap perkembangan ini dibedakan berdasarkan pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan pengendalian. Pertimbangan yang digunakan pada PHT Ambang Ekonomi adalah padat populasi ambang yang ditetapkan oleh para pakar, pada PHT Sekolah Lapang adalah hasil pemantauan ekosistem terhadap tanaman, organisme pengganggu, dan musuh alami yang dilakukan oleh anggota kelompok tani peserta sekolah lapang PHT, dan pada PHT Masyarakat adalah hasil pemantauan yang disepakati oleh sesama anggota masyarakat dalam suatu hamparan atau kawasan. Dalam perkembangan PHT ini, pertimbangan bergeser dari berdasarkan semata-mata aspek teknis menjadi juga menyentuh aspek sosial.

PHT memang merupakan perubahan cara pandang terhadap konsep hama yang dalam peraturan perundang-undangan disebut organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Perubahan ini sebenarnya merupakan bagian dari perubahan cara pandang terhadap pertanian dari semula sebagai proses produksi revolusi industri menjadi sebagai proses ekologis. Dalam pertanian sebagai proses produksi revolusi industri OPT adalah komponen eksternal yang harus ditiadakan, sedangkan dalam proses ekologis OPT adalah komponen internal yang sampai pada batas tertentu harus diterima keberadaannya.

Mendampingi Pakar CVPD Meninjau JKS di Timor Barat

Pada 8-11 September 2011, Prof. Siti Subandiyah, pakar CVPD terkemuka dunia dari UGM, Yogyakarta, berkunjung untuk melihat keadaan jeruk di Timor Barat. Tujuan kunjungan beliau yang sebenarnya sesungguhnya adalah mendampingi mahasiswa S3 bimbingan beliau untuk mengambil sampel jeruk besar (Citrus maxima). Tetapi karena beliau adalah pakar CVPD maka tentu saja beliau tidak membuang kesempatan, sekalian melihat keadaan jeruk keprok soe (JKS, Citrus reticulata), yang menurut pemerintah daerah, khususnya pemerintah Kabupaten TTS, masih bebas CVPD. Pada hari pertama, kunjungan dilakukan ke kebun bibit hortikultura di Nonbes, Kecamatan Amarasi. Di kebun bibit tersebut, beliau menyaksikan tanaman jeruk menunjukkan gejala khas CVPD. Menurut beliau, untuk memastikan keberadaan CVPD memang diperlukan uji laboratorium, khususnya PCR (Polymerase Chain Reaction), tetapi gejala khas CVPD dapat digunakan untuk keperluan deteksi dini.
Pada hari kedua kunjungan dilanjutkan ke pusat-pusat produksi JKS di Kabupaten TTS dan ke kebun bibit pemerintah. Di berbagai tempat beliau terkaget-kaget menyaksikan keadaan JKS dan tidak henti-henti bertanya, "Mengapa bisa sampai begini? Katanya JKS bebas CVPD, tapi mengapa begini?" Saya pun hanya dapat menjelaskan secara sederhana saja, bahwa bebas CVPD bukan berarti tidak ada CVPD. Sebab, keberadaan penyakit tanaman sekarang dapat berstatus resmi dan tidak resmi. Secara resmi penyakit CVPD memang belum ada di NTT, tetapi secara tidak resmi bukan berarti tidak ada. Saya katakan kepada beliau bahwa ibaratnya penduduk, CVPD adalah penduduk tidak ber-KTP. Penyakit jeruk yang ber-KTP adalah busuk diplodia sebab hanya penyakit itu yang secara resmi diakui keberadaannya oleh pemerintah.
"Lho, kan hasil uji PCR sudah membuktikan positif, lalu apa lagi?", beliau balik bertanya. Memang sudah terbukti positif, tetapi Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS mengatakan bahwa pengujian itu dilakukan oleh orang yang tidak berkompeten di laboratorium yang tidak ditunjuk oleh pemerintah. Menurut Kepala Dinas, pengujian CVPD hanya akan diakui bila dilakukan di Tlekung. "Bukan main itu", beliau seakan-akan tidak percaya. Tapi saya berjanji akan mengirimkan kliping koran Pos Kupang yang memuat pernyataan Kepala Dinas kepada beliau, supaya beliau tahu bahwa Kepala Dinas memang bukan main.
Perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten TTU dengan menempuh jalur Kapan-Eban. Ketika melewati Desa Tobu saya menceritakan bahwa desa itu dianggap sebagai asal JKS. "Ceritanya bagaimana?", rupanya beliau belum sempat membaca sejarah jeruk keprok menurut versi pemerintah. Konon katanya, jeruk keprok yang sekarang diberi nama JKS itu dibawa oleh orang Cina dan diberikan kepada "usif" sebagai hadiah agar mereka diperkenankan membeli kayu cendana. Setelah memakan buahnya dan ternyata enak maka usif menyuruh rakyatnya menanam biji yang dikumpulkannya. Tapi menurut Dr. Hendrik Ataupah, seorang antropologiwan terkemuka mengenai Timor, kata usif tidak sela|u berarti raja. Dan kalau memang yang dimaksud di sini adalah raja maka seharusnya tidak di Tobu sebab Tobu bukan pusat pemerintahan kerajaan pada abad XV ketika perdagangan cendana marak di Timor. "Begitu toh?", kata beliau. Saya bilang, itu versi pemerintah, sedangkan versi masyarakat tidak selalu sama.
Sampai di Eban hari sudah sore. Ketika berkunjung di satu rumah dan menemukan pohon jeruk meranggas beliau bertanya, "Apakah ini keprok soe?" Tuan rumah, yang kebetulan seorang mantan Kepala Desa, dengan cepat menjawab, "Bukan Ibu, itu lemon cina". "Lho katanya lemon cina itu sama dengan keprok soe?". Tuan rumah dengan ramah menjelaskan, "Itu kalau di TTS, kalau di sini kami sebut lemon cina saja. Soe itu ada di TTS, bukan di TTU, maka kami lebih suka pakai nama lemon cina saja". Beliau tampak agak kurang percaya, mungkin dalam pikiran beliau bertanya-tanya, apalah arti sebuah nama. "Maaf Ibu, bagi orang kecil nama itu bisa punya banyak arti", bisik saya dalam hati.
Dalam perjalanan pulang kembali dari Kefamenanu kami menyempatkan datang berkunjung ke kebun dinas milik Pemerintah Kabupaten TTS. Kami menunggu cukup lama karena kepala kebun sedang tidak di tempat. Pada akhirnya kami diterima. Prof. Siti Subandiyah terkaget-kaget melihat keadaan rumah kasa blok fondasi dan BPMT di sana yang ternyata kasanya sudah porak poranda.
Ketika melihat-lihat tanaman jeruk beliau bertanya kepada saya, apakah pohon jeruk di kebun bibit itu positif CVPD atau tidak. Saya pura-pura tidak mendengar pertanyaan beliau. Tai beliau terus saja bertanya, "Apakah di sini Pak Wayan menemukan Diaphorina?" Saya jawab dengan suara agak keras, "Tidak Ibu, tidak ada Diaphorina di sini". Tapi tiba-tiba saja beliau berteriak, "Lho ini apa, ini 'kan Diaphorina?" Beliau menunjuk ke arah pucuk tanaman jeruk yang beliau amati dan di sana memang bertengger imago Diaphorina. Mau apa lagi, kepala kebun pun dengan halus memberikan kami wejangan bahwa kalau berkunjung ke kebun dinas kami seharusnya minta ijin dahulu ke dinas dan diantar oleh orang dinas. Lalu kami secara harus dininta meninggalkan kebun dinas dengan alasan bahwa kepala kebun sedang sibuk dengan banyak pekerjaan.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjShgnA5QhCqrJK4pgG6LgYmJBpD1d9O2d9fmIj_InqKOxzEO8UQQZo3pGE1Nh8QHj8vWibb-v5fe2Im4tV9SOXTqQsOzESGAl3A89Oqp7MjNGvDL7vuqkZJHvcDKMtuTDxZj4WcWpo360Q/s1600/diaphorina_oenali_sep2011_05.jpg
Dalam perjalanan saya jelaskan kepada Prof. Siti Subandiyah mengapa saya tidak menjawab ketika beliau menanyakan apakah pohon JKS di kebun bibit tadi positif CVPD atau tidak. Saya juga jelaskan kenapa saya menjawab tidak ada ketika beliau menanyakan keberadaan Diaphorina citri. Sebab saya melihat kepala kebun sudah menunjukkan tanda-tanda tidak menerima kami dengan senang hati. Sebab yang berwenang menyatakan CVPD ada atau tidak, Diaphorina citri ada atau tidak hanyalah Kepala Dinas. Saya sampaikan kepada Prof. Siti Subandiah, "Ibu boleh seorang pakar CVPD, tetapi di sini yang berwenang adalah Kepala Dinas. Knowledge is no longer power, but power is knowledge. Maaf Ibu, di sini yang paling pintar itu bukan guru besar, tetapi pejabat". Lantas kami pun pulang, masing-masing dengan berdiam diri. Entah apa yang beliau pikirkan, tetapi saya terlalu lelah untuk memikirkan pejabat semacam ini. Saya pun tertidur.

Ketahanan Hayati dan PHT: Berbeda atau Sama Saja?

Sejak konferensi tingkat tinggi di Denpasar, Bali, berkali-kali telah diselenggarakan lokakarya dan seminar mengenai ketahanan hayati. Selain di Denpasar, lokakarya dan seminar juga diselenggarakan di Kupang, Manado, dan Ambon. Pada setiap kali lokakarya dan seminar selalu saja timbul berbagai pertanyaan mengenai istilah ketahanan hayati. Di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang menarik adalah pertanyaan apakah ketahanan hayati itu sama atau berbeda dengan pengendalian hama terpadu (PHT). Untuk diketahui, PHT telah ditetapkan sebagai sistem perlindungan tanaman di  Indonesia. PHT sebenarnya merupakan instrumen pengambilan keputusan tindakan pengendalian organisme pengganggu. Sejak penerapannya pada 1980-an, PHT di Indonesia telah berkembang dari PHT Ambang Ekonomi, PHT Sekolah Lapang, dan PHT Masyarakat.

Pada tahap PHT Ambang Ekonomi, pengambilan keputusan pengendalian dilakukan pada saat padat populasi organisme pengganggu mencapai apa yang disebut ambang ekonomi. Dalam hal ini ambang ekonomi merupakan padat populasi organisme pengganggu yang ditetapkan melalui penelitian yang dilakukan oleh para pakar. Pada tahan PHT Sekolah Lapang pengambilan keputusan dilakukan bersama-sama oleh anggota kelompok tani yang mempelajari interaksi antar organisme, musuh alaminya, dan tanaman melalui pemantauan ekosistem melalui sekolah lapang dengan para pakar sebagai instruktur. Pada tahap PHT Masyarakat, pengambilan keputusan tidak hanya melibatkan petani tetapi juga anggota masyarakat lainnya, termasuk konsumen, dengan fasilitator yang berasal dari masyarakat sendiri.

Merujuk pada uraian di atas maka ketahanan hayati berbeda dengan PHT dalam hal kontinuum penanganan masalah. Dengan pendekatan ketahanan hayati, penanganan masalah dilakukan sebelum, pada saat, dan setelah organisme pengganggu melintasi batas. Hal ini berbeda dengan pendekatan PHT yang memfokuskan perhatian pada penanganan masalah setelah organisme pengganggu melintasi batas. Dengan kata lain, ketahanan hayati menanganai masalah secara proaktif, sedangkan PHT menangani masalah secara reaktif. Bagi Kepala;Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS, CVPD bukan merupakan masalah sepanjang masih merupakan masalah di Eban, Kabupaten TTU. Sebaliknya bagi Australia, CVPD sudah menjadi masalah meskipun belum masuk ke wilayah negara tersebut.

Bukan hanya soal kontinuum pra-batas, batas, dan pasca-batas, ketahanan hayati bukan hanya pada aspek teknis tetapi juga pada aspek sosial permasalahan yang dihadapi. Pada tahap menilai, mengelola, maupun mengendalikan risiko selalu diperhatikan keterkaitan permasalahan hayati yang dihadapi dengan berbagai faktor sosial masyarakat. PHT juga memberikan perhatian pada berbagai faktor sosial, tetapi faktor sosial ditempatkan sebagai eksternalitas daripada diinternalisasi. Dalam perkembangan PHT memang dilakukan upaya untuk semakin menginternasisasikan permasalahan sosial ini, tetapi karena PHT Komunitas berkembang setelah era otonomi daerah maka penginternalisasian yang diharapkan tersebut tidak berlangsung dengan tuntas. Hal ini terjadi karena dalam era otonomi daerah kewenangan perlindungan tanaman termasuk dalam kewenangan yang didesentralisasi. Dalam hal ini tidak semua daerah benar-benar telah memahami dan dapat menerapkan PHT Komunitas sebagaimana mestinya.

Sebagaimana telah disampaikan pada tayangan sebelumnya, ketahanan hayati mengintegrasikan berbagai sektor dalam menghadapi permasalahan organisme pengganggu. Dalam kaitan ini PHT, meskipun sudah menggunakan pendekatan terpadu, keterpaduannya terbatas pada sektor pertanian. Maka tidak mengherankan bila kemudian ketika DDT telah dilarang untuk digunakan mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan, Departemen (sekarang Kementerian) Kesehatan masih menggunakannya untuk mengendalikan nyamuk. Bahkan dalam sektor pertanian sendiri PHT masih banyak dipandang sebagai hanya urusan bidang perlindungan tanaman dan lebih khusus lagi urusan yang berkaitan dengan hama dalam arti sempit (binatang hama). Akibatnya, banyak orang masih menyebut pestisida sebagai obat hama padahal sesungguhnya adalah racun. Obat nyamuk merupakan istilah yang dipahami lebih luas daripada racun nyamuk.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut, dalam sektor pertanian ketahanan hayati dan PHT sama-sama berkaitan dengan organisme pengganggu tumbuhan. Hanya saja, organisme pengganggu tumbuhan yang dihadapi didefinisikan dengan cara yang berbeda. Meskipun demikian, tujuan akhirnya tetap sama, yaitu sama-sama untuk menghindari terjadinya permasalahan ketahanan pangan yang diakibatkan oleh kehilangan hasil yang terjasi karena serangan organisme pengganggu tumbuhan.

Lihat juga: Ketahanan Hayati vs PHT pada Blog Lama

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites